Pernah nggak sih kamu nonton film horor yang bikin kamu nggak bisa tidur semalaman, tapi besoknya kamu malah pengen nonton ulang? Nah, kalau kamu termasuk orang yang ngangguk waktu baca kalimat barusan, berarti ada kemungkinan besar kamu udah pernah ketemu sama Pennywise, si badut jahat dari semesta “It”. Dan kalau kamu udah nonton “It” yang pertama, terus mikir “Oke, akhirnya selesai juga”, selamat… kamu salah besar. Karena menurut website layartancap.id, “It Chapter Two (2019)” datang bukan cuma buat nutup cerita, tapi juga buat ngebuktiin kalau ketakutan itu bisa tumbuh, berevolusi, dan bahkan makin brutal seiring kamu bertambah dewasa.
Film garapan Andy Muschietti ini bener-bener ngelanjutin kisah dari film pertamanya, dan kerennya, dia nggak asal sambung doang. Dia bawa kamu 27 tahun ke depan, ketika para anggota Losers’ Club udah tumbuh jadi orang dewasa dan mulai lupa sama semua kejadian horor yang pernah mereka alami waktu kecil. Tapi Derry, kota kecil tempat semuanya bermula, nggak lupa. Dan tentu aja, Pennywise juga belum selesai sama mereka. Jadi siap-siap ya, karena kali ini, teror nggak cuma datang dari lorong-lorong gelap atau balon merah yang melayang sendirian, tapi dari kenangan masa kecil yang kamu kira udah hilang.
Kembali ke Derry, Tempat di Mana Masa Lalu Nggak Pernah Mati
Bayangin kamu udah lama banget ninggalin kampung halaman, terus suatu hari kamu dapat telepon dari temen lama yang bilang, “Dia kembali”. Mungkin kamu bakal mikir, siapa? Tapi buat Mike Hanlon, yang satu-satunya tetap tinggal di Derry, jawabannya jelas: Pennywise. Dan panggilan itu adalah awal dari semuanya.
Di “It Chapter Two”, kamu diajak ngikutin para Losers yang sekarang udah dewasa—Bill yang jadi penulis, Beverly yang terjebak di hubungan toksik, Richie yang stand-up komedian, Eddie yang masih parno sama segala hal, Ben yang udah berubah total (dan makin ganteng), juga Stanley yang… yah, kisah dia cukup mengiris hati di awal film. Mereka semua dipanggil balik ke Derry karena janji yang dulu mereka buat: kalau Pennywise balik, mereka juga harus balik buat ngalahin dia lagi.
Tapi balik ke Derry bukan hal yang gampang. Karena di sanalah semua ketakutan mereka lahir. Dan begitu mereka menginjakkan kaki di kota itu, ingatan-ingatan yang selama ini terkubur mulai muncul satu per satu—dan itu bukan sekadar mimpi buruk. Itu nyata.
Pennywise Nggak Sekadar Badut, Dia Adalah Simbol Ketakutan Itu Sendiri
Kamu mungkin mikir, “Ah cuma badut, ngapain takut?” Tapi percaya deh, Pennywise itu beda. Dia bukan cuma makhluk yang suka ngagetin orang dari dalam selokan. Dia lebih dari itu. Dia adalah perwujudan dari rasa takut paling dalam, yang ngacak-ngacak pikiran kamu sampai kamu sendiri nggak yakin mana yang nyata dan mana yang cuma ilusi.
Di “It Chapter Two”, kamu bakal lihat gimana Pennywise lebih licik dari sebelumnya. Dia nggak cuma ngebunuh. Dia bermain-main dengan emosi, memanipulasi trauma masa kecil, dan bikin kamu merasa kecil dan nggak berdaya. Kayak pas dia nargetin Beverly dengan trauma masa lalunya, atau Richie yang harus menghadapi rahasia yang selama ini dia sembunyikan.
Film ini nggak cuma jual jumpscare murahan. Ia main di psikologis, bikin kamu ikut ngerasa cemas, bingung, dan nggak nyaman. Dan itu justru bikin filmnya kerasa lebih dalam, karena horornya bukan cuma dari visual, tapi dari emosi yang pelan-pelan dikuliti.
Pertemanan yang Tumbuh Bersama Luka
Salah satu hal paling kuat dari “It Chapter Two” adalah hubungan antar karakternya. Kamu bakal lihat gimana mereka nggak sekadar reuni, tapi juga saling menyembuhkan. Masing-masing bawa luka yang nggak kelihatan, dan lewat petualangan mereka ngelawan Pennywise, mereka juga belajar buat berdamai dengan diri sendiri.
Ada momen-momen manis di tengah ketegangan, kayak saat mereka makan di restoran Cina, nostalgia masa kecil, atau saat mereka ketawa bareng di tengah rasa takut. Film ini pinter banget ngasih ruang buat tawa dan haru di antara horor yang mencekam. Kamu jadi inget kalau mereka bukan cuma korban, tapi juga pejuang yang tumbuh bersama.
Dan buat kamu yang udah nonton film pertamanya, perasaan hangat itu bakal makin kerasa. Karena kamu udah kenal mereka waktu kecil, dan sekarang kamu lihat mereka berusaha kuat sebagai orang dewasa. Rasanya kayak ngeliat temen lama yang balik dan kamu sadar, “Wah, banyak yang berubah, tapi rasa sayangnya tetap sama.”
Durasi Panjang yang Nggak Selalu Mulus, Tapi Tetap Layak Ditonton
Jujur aja ya, “It Chapter Two” itu lumayan panjang—hampir tiga jam. Dan di beberapa bagian, kamu mungkin ngerasa filmnya agak lambat atau terlalu banyak flashback. Tapi kalau kamu sabar dan nikmatin alurnya, semuanya masuk akal. Karena film ini nggak cuma soal ngalahin monster, tapi juga soal menghadapi diri sendiri.
Beberapa adegan memang terasa agak repetitif, terutama waktu masing-masing karakter harus nyari “artifak pribadi” buat ritual ngusir Pennywise. Tapi untungnya, atmosfer yang dibangun dan penampilan aktor-aktrisnya bikin kamu tetap tertarik buat ngikutin sampai akhir.
Bill Hader sebagai Richie dan James Ransone sebagai Eddie adalah duo yang standout banget. Chemistry mereka solid, dan mereka berhasil nyelipin humor yang nggak ngerusak tensi horor, malah justru bikin lebih hidup.
Akhir yang Nggak Semua Orang Suka, Tapi Tetap Punya Makna
Nah, soal ending-nya… ini yang agak bikin fans terbelah. Ada yang suka karena emosional dan kasih penutupan yang layak, tapi ada juga yang ngerasa terlalu melodramatis. Tapi satu hal yang jelas, film ini punya pesan kuat soal keberanian, pertemanan, dan pentingnya menghadapi masa lalu.
“It Chapter Two” bukan sekadar cerita tentang ngalahin makhluk jahat. Ini cerita tentang menerima bagian paling gelap dari diri kamu sendiri dan tetap maju. Tentang nggak lari dari rasa takut, dan tentang pentingnya mengingat siapa kamu, dari mana kamu berasal, dan siapa yang pernah bantu kamu jadi seperti sekarang.
Jadi, Worth It Nggak Buat Ditonton?
Kalau kamu penggemar horor psikologis yang nggak cuma ngandelin darah dan teriakan, “It Chapter Two (2019)” jelas layak buat kamu tonton. Apalagi kalau kamu udah nonton yang pertama, film ini kayak potongan terakhir dari puzzle yang udah kamu susun lama. Meski nggak sempurna, dia tetap punya momen-momen yang kuat dan bikin kamu mikir.
Dan kalau kamu pernah punya masa kecil yang nggak sepenuhnya bahagia, film ini mungkin bakal kena banget. Karena pada akhirnya, kita semua punya “Pennywise” dalam hidup kita masing-masing. Dan kadang, satu-satunya cara buat ngalahin dia, ya dengan berani ngadepin dia langsung—bareng orang-orang yang pernah ada di sisi kamu.